Minggu, 02 Juni 2013

TAN MALAKA, Pahlawan yang Terlupakan dlm Sejarah Indonesia yg Dihargai di Eropa!

Hari Ini tanggal 2 juni 2013,dimana hari ini saya baru membuat blog,entah apa yang akan saya publish disini,tibatiba saya teringat bahwa hari ini tepat tanggal 2 juni adalah hari lahir pahlawan revolusioner.Beliau adalah Tan Malaka Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka lahir di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, tahun 1896. Ia menempuh pendidikan Kweekschool di Bukittinggi sebelum melanjutkan pendidikan ke Belanda. Pulang ke Indonesia tahun 1919 ia bekerja di perkebunan Tanjung Morawa, Deli.

Penindasan terhadap buruh menyebabkan ia berhenti dan pindah ke Jawa tahun 1921. Ia mendirikan sekolah di Semarang dan kemudian di Bandung. Aktivitasnya menyebabkan ia diasingkan ke negeri Belanda. Ia malah pergi ke Moskwa dan bergerak sebagai agen komunis internasional (Komintern) untuk wilayah Asia Timur. Namun, ia berselisih paham karena tidak setuju dengan sikap Komintern yang menentang pan-Islamisme.

Ia berjuang menentang kolonialisme "tanpa henti selama 30 tahun" dari Pandan Gadang (Suliki), Bukittinggi, Batavia, Semarang, Yogya, Bandung, Kediri, Surabaya, sampai Amsterdam, Berlin, Moskwa, Amoy, Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hongkong, Singapura, Rangon, dan Penang. Ia sesungguhnya pejuang Asia sekaliber Jose Rizal (Filipina) dan Ho Chi Minh ( Vietnam).

Ia tidak setuju dengan rencana pemberontakan PKI yang kemudian meletus tahun 1926/1927 sebagaimana ditulisnya dalam buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia, Kanton, April 1925 dan dicetak ulang di Tokyo, Desember 1925). Perpecahan dengan Komintern mendorong Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok, Juni 1927.

Walaupun bukan partai massa, organisasi ini dapat bertahan sepuluh tahun; pada saat yang sama partai-partai nasionalis di Tanah Air lahir dan mati.

Perjuangan Tan Malaka yang bersifat lintas bangsa dan lintas benua telah diuraikan secara rinci dalam dua jilid biografi yang ditulis Poeze. Setelah Indonesia merdeka, perjuangan Tan Malaka mengalami pasang naik dan pasang surut. Ia memperoleh testamen dari Bung Karno untuk menggantikan apabila yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugasnya.

Namun, tahun 1948, Tan Malaka dikenal sebagai penentang diplomasi dengan Belanda yang dilakukan dalam posisi merugikan Indonesia. Ia memimpin Persatuan Perjuangan yang menghimpun 141 partai/organisasi masyarakat dan laskar, menuntut agar perundingan baru dilakukan jika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia seratus persen.

Tahun 1949 Tan Malaka ditembak. Tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno mengangkat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional. Namun, sejak era Orde Baru, namanya dihapus dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah walau gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut. Adalah kebodohan rezim Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali. Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI tahun 1926/1927. Ia sama sekali tidak terlibat dalam peristiwa Madiun 1948. Bahkan, partai yang didirikan tanggal 7 November 1948, Murba, dalam berbagai peristiwa berseberangan dengan PKI.

Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur berdasarkan serangkaian wawancara yang dilakukan pada periode 1986 sampai dengan 2005 dengan para pelaku sejarah yang berada bersama-sama dengan Tan Malaka tahun 1949. Dengan dukungan dari keluarga dan lembaga pendukung Tan Malaka, sedang dijajaki kerja sama dengan Departemen Sosial Republik Indonesia untuk memindahkan kuburannya ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Tentu untuk ini perlu tes DNA, misalnya. Tetapi, Depsos dan Pemerintah Provinsi Jatim harus segera melakukannya sebelum masyarakat setempat secara sporadis menggali dan mungkin menemukan tulang belulang kambing yang bisa diklaim sebagai kerangka jenazah sang pahlawan nasional.

Temuan baru

Banyak penemuan baru yang terdapat dalam buku Tan Malaka yang terakhir ini. Sejarah revolusi Indonesia tahun 1945-1949 seperti diguncang untuk ditinjau ulang. Peristiwa Madiun 1948 dibahas sebanyak 300 halaman. Poeze menggunakan arsip Komintern yang terdapat di Moskwa.

Ia juga menemukan arsip menarik tentang Soeharto. Selama ini sudah diketahui bahwa Soeharto datang ke Madiun sebelum meletus pemberontakan. Soemarsono berpesan kepadanya bahwa kota itu aman dan agar pesan itu disampaikan kepada pemerintah. Poeze menemukan sebuah arsip menarik di Arsip Nasional RI bahwa Soeharto pernah menulis kepada "Paduka Tuan" Kolonel Djokosoejono, komandan tentara kiri, agar beliau datang ke Yogya dan menyelesaikan persoalan ini. Soeharto menulis "saya menjamin keselamatan Pak Djoko". Dokumen ini menarik karena ternyata Soeharto mengambil inisiatif sendiri sebagai penengah dalam peristiwa Madiun.

Dalam kondisi ini, Tan Malaka mungkin lebih cocok disebut sebagai pahlawan yang terlupakan. Mengapa demikian, karena Ia berpuluh-puluh tahun telah berjuang bersama rakyat, namun kemudian dibunuh dan dikuburkan disamping markas militer di sebuah desa di Kediri pada 1949, tanpa banyak yang tahu. Padahal ia lebih dari tiga dekade merealisasikan gagasannya dalam kancah perjuangan Indonesia. Ini dapat dilihat dari ketika Tan Malaka pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jawa, yakni dengan mendirikan Sekolah Rakyat di Semarang. Padahal Tan Malaka ketika sedang dalam pengejaran Intelijen Belanda, Inggris dan Amerika.

Menurutnya, pendidikan rakyat jelas merupakan cara terbaik membebaskan rakyat dari kebodohan dan keterbelakangan untuk membebaskan diri dari kolonialisme. Tan Malaka dan gagasannya tidak hanya menjadi penggerak rakyat Indonesia, tetapi juga membuka mata rakyat Philipina dan semenanjung Malaya atau bahkan dunia.



Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur. Lokasi tempat Tan Malaka disergap dan kemudian ditembak adalah Dusun Tunggul, Desa Selopanggung, di kaki Gunung Wilis. Penembakan itu dilakukan oleh Suradi Tekebek atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya. Pada masa selanjutnya, Soekotjo pernah menjadi Wali Kota Surabaya dan terakhir berpangkat brigjen, meninggal tahun 1980-an.

Dalam penelitiannya Poeze juga memanfaatkan foto-foto sejarah. Rapat raksasa di lapangan Ikada (sekarang lapangan Monas) Jakarta, 19 September 1945, yang dihadiri 15.000 orang dari seputar Jakarta merupakan momen historis penting. Walau Indonesia sudah merdeka, peralihan kekuasaan belum terlaksana. Tentara Jepang masih memegang senjata dan mengancam jika rakyat mengadakan rapat lebih dari lima orang. Rapat raksasa di lapangan Ikada itu dirancang pemuda untuk memperlihatkan dukungan rakyat kepada proklamasi. Soekarno ragu untuk menghadiri rapat tersebut karena khawatir tentara Jepang melakukan penembakan massal terhadap penduduk. Rapat itu akhirnya berlangsung dan Soekarno berpidato beberapa menit.



Poeze sempat memeriksa foto-foto tentang peristiwa itu. Ia menemukan seseorang yang memakai helm di dekat Bung Karno ketika berpidato. Bahkan, pada salah satu foto, Soekarno dan orang itu berjalan berdampingan. Setelah membandingkan berbagai foto itu, berkesimpulan bahwa lelaki berhelm itu adalah Tan Malaka. Lelaki itu lebih pendek dari Soekarno dan ukurannya di foto ternyata cocok karena tinggi Soekarno adalah 1,72 meter dan Tan Malaka 1,65 meter.
Karya Harry Poeze yang judulnya berarti Dihujat dan Dilupakan: Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949 sungguh luar biasa dari segi kuantitas dan kualitas. Terdiri atas tiga jilid setebal 2.194 halaman, buku ini bukan saja menggunakan dokumen Indonesia dan Belanda, tetapi juga arsip Rusia. Ini merupakan biografi terbesar dalam sejarah modern Indonesia.



Dalam lintasan sejarah, Tan Malaka merupakan salah satu tokoh revolusi kiri yang namanya hingga kini masih terus berkibar, paling tidak di Eropa. Sehingga tak heran jika Harry Poeze, peneliti senior sekaligus Direktur KITLV Belanda, menulis disertasi mengenai Tan Malaka pada tahun 1976 yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia dalam dua jilid. Poeze kemudian melanjutkan buku kisah perjalanan hidup Tan Malaka ini sampai akhir hayatnya pada 1949, yang dalam buku tersebut diungkap mengenai lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur dan siapa yang menembaknya.

Penelusuran Poeze ternyata tidak hanya berhenti disitu, pada 8 Juni 2007 lalu, di Universitas Leide Belanda, Poeze meluncurkan buku yang berjudul ‘Verguisd en Vergeten, Tan Malaka; De linkse Beweging en Indonesische Revolutien 1945-1959’. Buku setebal 2194 halaman ini di jual seharga 99,90 euro di Eropa, dan cukup mendapat apresiasi dari halayak pembaca.[/SIZE]



- Keberadaan makam dan penyebab kematian Sutan Ibrahim atau Datuk Tan Malaka, menjadi polemik selama 30 tahun. Tan Malaka hilang seperti ditelan bumi dan tak tentu rimbanya sejak Februari 1949 silam.

Namun, misteri ini segera terkuak menyusul pembongkaran makam yang diduga berisi jasad Tan Malaka di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kediri, Jawa Timur oleh tim forensik RSCM, Sabtu 12 September kemarin, sesuai petunjuk seorang sejarawan Belanda Harry A Poeze.

Harry, menyimpulkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya.

Eksekusi ini diawali pada 1949, saat markas Tan Malaka di Pace, Jawa Timur disergap oleh Tentara Republik Indonesia (sekarang TNI). Pasukan ini urung menangkap pria yang tidak meninggalkan keturunan ini, karena ditarik mundur untuk menghalau Belanda yang melakukan penyerangan dari utara. Tan Malaka dan 60 orang pengikutnya dibebaskan.

Tokoh kontroversial ini bersama pengikutnya melarikan diri ke selatan Jawa Timur. Namun dalam perjalanan, mereka ditembaki oleh sekelompok bersenjata. Tan Malaka selanjutnya membagi rombongan menjadi empat kelompok. Dirinya dan empat orang pengikutnya pergi ke kawasan Tulung Agung, mengharapkan masih ada batalyon tentara di sana yang masih bersimpati pada mereka. Setelah dua hari berjalan, mereka tiba-tiba disergap di suatu desa kecil bernama Selo Panggung. Tan Malaka pun di tembak mati di tempat ini.

Versi Kematian Tan Malaka

Mengungkap misteri sebab kematian pahlawan nasional Tan Malaka, memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Saat melakukan penelitian, sejarawan Belanda Harry A Poeze harus dihadapkan dengan berbagai versi cerita, sedikitnya ada lima versi yang mengungkap kematian Che Guevara-nya Indonesia ini.

"Banyak sekali, bahkan ada tukang bengkel di Surabaya yang mengaku-ngaku sebagai penembak Tan Malaka," jelas Penulis buku "Filosofi Negara Menurut Tan Malaka", Hasan Nasbi.

Namun, dari dari berbagai versi itu, dalam bukunya Harry Poeze menyebut Tan Malaka dibunuh dengan ditembak. Ini adalah versi Sukarna, seorang pengawal Tan�Malaka yang berhasil kabur dari tahanan. Dia sempat menceritakan kembali kepada Jamalludin Tamim, salah satu pengikut Tan Malaka sewaktu di Bangkok.

Sempat pula beredar beredar kabar, Tan Malaka ditembak dan dibuang ke kali Brantas, namun setelah ditelusuri oleh Harry Poeze, ternyata setelah ditembak, Tan Malaka kemudian dikuburkan di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen Kediri, Jawa Timur.

Upaya penggalian makam Tan Malaka pun sejatinya sudah dimulai sejak Peringatan 112 tahun kelahirannya serta 60 tahun hilangnya Tan Malaka awal tahun ini. Rencananya, keponakan Tan Malaka, Zulfikar Kamarudin, yang akan memimpin langsung tim untuk membongkar makam yang ditemukan oleh Harry A Poeze ini pada 12 Maret lalu, namun karena terkendala proses administrasi, proses penggalian ini gagal.

Sekadar diketahui, Tan Malaka merupakan salah satu pejuang revolusioner beraliran kiri nasionalis. Dia lahir di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, pada 2 Juni 1897. Selama hidupnya dia pernah aktif di Partai Komunis Indonesia dan menjabat wakil Komintern di Asia yang berkedudukan di Canton. Pendiri partai Murba ini kemudian ditetapkan sebagai pahlawan kemerdekaan Nasional berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Sukarno pada 28 Maret 1963. Sayang, pada Era pemerintahan Suharto, nama Tan Malaka terkesan dilupakan atau bahkan sengaja dibedakan dengan pahlawan nasional lainnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar