Minggu, 23 November 2014

Tentang Perencanaan Pembangunan Nasional serta Hambatannya

Tentang UU No.25 Tahun 2004
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 merupakan undang undang yang berisi tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Undang-undang ini adalah salah satu dari sejumlah undang-undang yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri pada awal Oktober 2004, menjelang masa jabatannya berakhir.
Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional merupakan satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah. (Pasal 1 Ayat 3).
UU No 25 Tahun 2004 ini mempunyai tujuan yang sangat luas, yaitu untuk :(a) mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan; (b) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antar-ruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah; (c) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; (d) mengoptimalkan partisipasi masyarakat dan (e) menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan. (Pasal 2)
Perencanaan pembangunan sendiri terbagi dalam tiga macam yakni menurut periode waktunya antara lain. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) adalah dokumen perencanaan untuk periode 20(dua puluh) tahun, Kemudian Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) adalah merupakan dokumen perencanaan untuk periode 5 tahun, dan yang terakhir adalah Rencana Strategis (Renstra) adalah dokumen perencanaan untuk periode setahun sekali, baik pada tingkat nasional, daerah, maupun Kementerian/Lembaga (Pasal 3 sampai dengan 7).
Lahirnya Undang-undang ini paling tidak memperlihatkan bahwa dengan adanya undang-undang ini dapat memberikan dan arah tindak dalam pelaksanaan proses perumusan perencanaan pembangunan kedepan, pasalnya sejak bangsa ini merdeka baru kali ini perencanaan pembangunan ditetapkan lewat UU, sebelumnya perencanaan pembangunan hanya ditetapkan oleh MPR dengan mengacu pada Garis Besar Haluan Negara (GBHN).[1]
Problem Dalam Perencanaan Pembangunan
Dalam proses perencanaan pembangunan baik di tingkat nasional maupun daerah terdapat problem maupun hambatan-hambatan yang membuat perencanaan pembangunan bisa berjalan tidak sesuai rencana. Mengingat dalam proses itu acapkali ditemui unsur-unsur kepentingan (interest) baik kepentingan politik maupun ekonomi daripada aktor aktor yang merumuskan proses perencanaan, yang kemudian berimplikasi pada produk perencanaan pembangunan yang tak tepat sasaran cenderung merugikan masyarakat dan dominan menguntungkan para elite. Dalam proses perumusan perencanaan pembangunan masyarakat kerap tidak diajak berpartisipasi dan tidak dilibatkan, hal ini bertentangan dengan tujuan dari sistem perencanaan pembangunan yang tercantum dalam UU No 25 Tahun 2004 pasal 2 ayat 4 butir d yang mana berbunyi “UU No 25 Tahun 2004 ini mempunyai tujuan yang sangat luas, yaitu untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat”. Dalam praktik pembangunan, masyarakat kadang masih diposisikan sebagai objek bukan subjek. Stigma yang berkembang dalam pikiran para elit masih menganggap masyarakat hanya harus dituntun, tidak diberi petunjuk dan tidak perlu dilibatkan dalam perencanaan, meski menyangkut kepentingan masyarakat itu sendiri. Ada juga anggapan orang miskin karena bodoh dan malas. Dengan demikian, cara menanganinya harus bersifat paternalistic seperti memperlakukan orang bodoh, tanpa ada upaya pemberdayaan. Paradigma tersebut sudah tidak lagi tepat. Pembangunan harus menempatkan masyarakat sebagai subyek yang diberikan ruang untuk terlibat dalam perencanaan, perumusan dan pelaksanaan dari program maupun perencanaan pembangunan.
Pendekatan itu diyakini akan lebih mampu memancing partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan yang berpengaruh langsung terhadap kehidupannya.
Perencanaan pembangunan yang disusun juga harus menjamin tercapainya pengunaan sumber daya, baik dana dan tenaga secara efektif, efisien, adil dan transparan. Aspek penting yang harus dilakukan pemerintah pusat maupun daerah adalah menekankan agar perencanaan pembangunan disusun dengan proporsional dan rasional dan partisipatif sehingga didukung oleh masyarakat dan stakeholder lainnya serta produk dari perencanaan pembangunan sendiri dapat tepat sasaran.
Fakta lain menunjukan jika upaya mewujudkan tujuan dan fungsi pokok SPPN juga menemui sejumah persoalan. Hingga saat ini, belum ada keterpaduan kegiatan antar pelaku pembangunan, baik di institusi pemerintah daerah sendiri dengan swasta atau masyarakat. Antar institusi masih dibelengu ego sektoral—dimana masing-masing SKPD atau intansi menanggap programnya yang paling perlu diprioritaskan dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan. Persoalan tersebut salah satunya tidak terlepas dari upaya masing-masing dinas untuk mendapatkan alokasi dana guna mendukung programnya dari pemerintah pusat. Hal tersebut membuat SKPD cenderung tidak efisien dalam mengelola anggaran dan buang buang anggaran, dana yang seharusnya digunakan untuk hal-hal yang relevan dengan perencanaan pembangunan kadang habis dipakai untuk hal-hal yang tidak relevan dengan perencanaan pembangunan, misalnya:dana uang rapat di hotel, dana untuk study banding dan sebagainya. Ketidakefisieanan pemda maupun SKPD dalam mengelola anggaran ini bertentangan dengan tujuan dari sistem perencanaan pembangunan yang tercantum dalam UU No 25 Tahun 2004 pasal 2 ayat 4 butir e yang mana berbunyi “menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan”.
Selain itu, kelemahan utama yang dirasakan selama ini adalah sistem perencanaan pembangunan nasional dan daerah adalah kurangnya keterpaduan, baik lintas sektoral, antar propinsi dengan nasional, antar propinsi yang berdekatan, serta antara kabupaten dan kota. Akibatnya, masing-masing program pembangunan yang ditetapkan menjadi kurang saling mendukung satu sama lainnya sehingga sinergi yang diharapkan kurang dapat mendorong proses pembangunan secara keseluruhan.
Permasalahan semakin serius dengan diterapkannya otonomi darah di mana masing-masing daerah cenderung mementingkan daerahnya masing-masing sehingga melupakan kepentingan nasional[2].
Di era otonomi daerah ini, masalah ego sektoral tersebut merupakan masalah yang serius. Sebenarnya, masing-masing daerah saling membutuhkan satu sama lainnya dalam mendorong proses pembangunan di daeranya masing-masing sehingga perencanaan pembangunan dapat berjalan terpadu. Terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi antar daerah sangat penting untuk mempercepat realisasi pembangunan di daerah. Namun, koordinasi antar kepala daerah kerapkali kurang berjalan efektif bahkan kerap dihadapi konflik kepentingan dalam penyusunan dan pelaksanaan program. Masing-masing kepala daerah, baik gubernur, bupati maupun walikota kebanyakan masih memiliki ego sektoral sehingga terjadi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Ketidaksinkronan dan tidak sinergiasnya antar para aktor pembangunan ini juga bertentangan dengan tujuan dari sistem perencanaan pembangunan yang tercantum dalam UU No 25 Tahun 2004 pasal 2 ayat 4 butir a dan b yang mana berbunyi ”mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan dan menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antar-ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah.” Dalam kondisi demikian, menurut Sjahrizal (2009) dibutuhkan pemetaan akan kebutuhan dari masing-masing wilayah sehingga pembangunan dapat dilakukan secara terpadu dan proporsional. Ada baiknya jika antar kepala daerah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Jangka Menengah sesuai masa jabatan kepala daerah. Sinkronisasi dan integrasi juga harus rencana strategis (Renstra) yang jelas dan terarah dan mewakili semua kepentingan wilayah[3].
UU No 25 Tahun 2004 dan paradigma konsep administrasi publik
Disini akan dibahas bagaimana hubungan uu no 25/2004 dengan padigma konsep administrasi publik. Seperti yang diketahui saat ini berkembang tiga konsep dalam ilmu administrasi publik antara lain: Old Public Adminstration, New Public Management dan New Public Service[4]. Dalam tiap butir isi dari uu no 25/2004 sendiri terdapat butir pasal yang isinya mengakomodir prinsip dasar yang terkandung dalam tiga konsep Administrasi Publik. Maka dari itu dibagian ini akan diperlihatkan UU No 25 tahun 2004 lebih dominan mengakomodasi prinsip dasar apakah dominan prinsip Old Public Adminsitration, New Public Management atau New Public Service.
Jika disimak pasal demi pasal, pasal 2 dari UU tersebut yang memuat tujuan dan asas penyelenggaraan perencanaan pembangunan jelas mengakomodasi prinsip New Public Service, karena berdasarkan bunyi pasal 2 ayat 1 adalah Pembangunan Nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan Nasional. Selain itu dalam pasal 2 ayat 4 butir d disebutkan bahwa UU No 25 Tahun 2004 ini mempunyai tujuan yang sangat luas, yaitu untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Kata yang di cetak tebal oleh penulis merupakan suatu prinsip dasar yang ada pada New Public Service yang mana konsep citizenship dan democratic merupakan element fundamental dalam konsep administrasi publik yang menganut paradigma new public service. Sebagaimana yang dikemukakan J. Denhardt dan R. Denhardt (2003) bahwa NPS adalah paradigma adminstrasi publik baru yang bercirikan demokrasi dengan memberi penghargaan terhadap martabat warga negara (citizen) sebagai manusia dalam pelayanan publik, negara lebih banyak menjadi pendengar daripada member petunjuk serta lebih banyak melayani daripada mengarahkan, warga negara dilibatkan penuh bahkan didorong wajib untuk berpartisipasi aktif dalam proses pemerintahan[5].
Bibliografi

[1] Statement Imam Prasojo Dosen UI. Diakses dari http://tempo.co/6-okt/2004/ini-pandangan-dosen-ui-tentang-uu-no25-th2004/ diakses pada 12 November 2014
[2] Dadang Solihin, Isu dan Masalah Perencanaan Pembangunan Daerah,
Lokakarya Penyusunan Pembangunan Daerah, 26 November 2008.
[3] Sjafrizal, Teknis Praktis Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah, Baduose Media, 2009
[4] Miftah Thoha, Ilmu Adminstrasi Publik Kontemporer, Penerbit Kencana, Jakarta, 2010.
[5] J Denhardt dan R Denhardt, New Public Service: Serving not Steering, ME Sharpe, New York, 2003