Tentang UU No.25 Tahun 2004
Undang-undang
Nomor 25 Tahun 2004 merupakan undang undang yang berisi tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional. Undang-undang ini adalah salah satu
dari sejumlah undang-undang yang ditandatangani Presiden Megawati
Soekarnoputri pada awal Oktober 2004, menjelang masa jabatannya
berakhir.
Menurut
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional merupakan satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk
menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka
menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara
dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah. (Pasal 1 Ayat 3).
UU
No 25 Tahun 2004 ini mempunyai tujuan yang sangat luas, yaitu untuk
:(a) mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan; (b) menjamin
terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah,
antar-ruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan
Daerah; (c) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; (d) mengoptimalkan
partisipasi masyarakat dan (e) menjamin tercapainya penggunaan sumber
daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan. (Pasal 2)
Perencanaan
pembangunan sendiri terbagi dalam tiga macam yakni menurut periode
waktunya antara lain. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) adalah
dokumen perencanaan untuk periode 20(dua puluh) tahun, Kemudian Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) adalah merupakan dokumen perencanaan
untuk periode 5 tahun, dan yang terakhir adalah Rencana Strategis
(Renstra) adalah dokumen perencanaan untuk periode setahun sekali, baik
pada tingkat nasional, daerah, maupun Kementerian/Lembaga (Pasal 3
sampai dengan 7).
Lahirnya
Undang-undang ini paling tidak memperlihatkan bahwa dengan adanya
undang-undang ini dapat memberikan dan arah tindak dalam pelaksanaan
proses perumusan perencanaan pembangunan kedepan, pasalnya sejak bangsa
ini merdeka baru kali ini perencanaan pembangunan ditetapkan lewat UU,
sebelumnya perencanaan pembangunan hanya ditetapkan oleh MPR dengan
mengacu pada Garis Besar Haluan Negara (GBHN).[1]
Problem Dalam Perencanaan Pembangunan
Dalam
proses perencanaan pembangunan baik di tingkat nasional maupun daerah
terdapat problem maupun hambatan-hambatan yang membuat perencanaan
pembangunan bisa berjalan tidak sesuai rencana. Mengingat dalam proses
itu acapkali ditemui unsur-unsur kepentingan (interest) baik kepentingan
politik maupun ekonomi daripada aktor aktor yang merumuskan proses
perencanaan, yang kemudian berimplikasi pada produk perencanaan
pembangunan yang tak tepat sasaran cenderung merugikan masyarakat dan
dominan menguntungkan para elite. Dalam proses perumusan perencanaan
pembangunan masyarakat kerap tidak diajak berpartisipasi dan tidak
dilibatkan, hal ini bertentangan dengan tujuan dari sistem perencanaan
pembangunan yang tercantum dalam UU No 25 Tahun 2004 pasal 2 ayat 4
butir d yang mana berbunyi “UU No 25 Tahun 2004 ini mempunyai tujuan yang sangat luas, yaitu untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat”.
Dalam praktik pembangunan, masyarakat kadang masih diposisikan sebagai
objek bukan subjek. Stigma yang berkembang dalam pikiran para elit masih
menganggap masyarakat hanya harus dituntun, tidak diberi petunjuk dan
tidak perlu dilibatkan dalam perencanaan, meski menyangkut kepentingan
masyarakat itu sendiri. Ada juga anggapan orang miskin karena bodoh dan
malas. Dengan demikian, cara menanganinya harus bersifat paternalistic
seperti memperlakukan orang bodoh, tanpa ada upaya pemberdayaan.
Paradigma tersebut sudah tidak lagi tepat. Pembangunan harus menempatkan
masyarakat sebagai subyek yang diberikan ruang untuk terlibat dalam
perencanaan, perumusan dan pelaksanaan dari program maupun perencanaan
pembangunan.
Pendekatan
itu diyakini akan lebih mampu memancing partisipasi masyarakat untuk
terlibat dalam pembangunan yang berpengaruh langsung terhadap
kehidupannya.
Perencanaan pembangunan yang disusun juga harus menjamin tercapainya pengunaan sumber daya, baik dana dan tenaga secara efektif, efisien, adil dan transparan. Aspek penting yang harus dilakukan pemerintah pusat maupun daerah adalah menekankan agar perencanaan pembangunan disusun dengan proporsional dan rasional dan partisipatif sehingga didukung oleh masyarakat dan stakeholder lainnya serta produk dari perencanaan pembangunan sendiri dapat tepat sasaran.
Perencanaan pembangunan yang disusun juga harus menjamin tercapainya pengunaan sumber daya, baik dana dan tenaga secara efektif, efisien, adil dan transparan. Aspek penting yang harus dilakukan pemerintah pusat maupun daerah adalah menekankan agar perencanaan pembangunan disusun dengan proporsional dan rasional dan partisipatif sehingga didukung oleh masyarakat dan stakeholder lainnya serta produk dari perencanaan pembangunan sendiri dapat tepat sasaran.
Fakta
lain menunjukan jika upaya mewujudkan tujuan dan fungsi pokok SPPN juga
menemui sejumah persoalan. Hingga saat ini, belum ada keterpaduan
kegiatan antar pelaku pembangunan, baik di institusi pemerintah daerah
sendiri dengan swasta atau masyarakat. Antar institusi masih dibelengu
ego sektoral—dimana masing-masing SKPD atau intansi menanggap programnya
yang paling perlu diprioritaskan dalam proses penyusunan perencanaan
pembangunan. Persoalan tersebut salah satunya tidak terlepas dari upaya
masing-masing dinas untuk mendapatkan alokasi dana guna mendukung
programnya dari pemerintah pusat. Hal tersebut membuat SKPD cenderung
tidak efisien dalam mengelola
anggaran dan buang buang anggaran, dana yang seharusnya digunakan untuk
hal-hal yang relevan dengan perencanaan pembangunan kadang habis dipakai
untuk hal-hal yang tidak relevan dengan perencanaan pembangunan,
misalnya:dana uang rapat di hotel, dana untuk study banding dan
sebagainya. Ketidakefisieanan pemda maupun SKPD dalam mengelola anggaran
ini bertentangan dengan tujuan dari sistem perencanaan pembangunan yang
tercantum dalam UU No 25 Tahun 2004 pasal 2 ayat 4 butir e yang mana berbunyi “menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan”.
Selain
itu, kelemahan utama yang dirasakan selama ini adalah sistem
perencanaan pembangunan nasional dan daerah adalah kurangnya
keterpaduan, baik lintas sektoral, antar propinsi dengan nasional, antar
propinsi yang berdekatan, serta antara kabupaten dan kota. Akibatnya,
masing-masing program pembangunan yang ditetapkan menjadi kurang saling
mendukung satu sama lainnya sehingga sinergi yang diharapkan kurang
dapat mendorong proses pembangunan secara keseluruhan.
Permasalahan semakin serius dengan diterapkannya otonomi darah di mana masing-masing daerah cenderung mementingkan daerahnya masing-masing sehingga melupakan kepentingan nasional[2].
Permasalahan semakin serius dengan diterapkannya otonomi darah di mana masing-masing daerah cenderung mementingkan daerahnya masing-masing sehingga melupakan kepentingan nasional[2].
Di
era otonomi daerah ini, masalah ego sektoral tersebut merupakan masalah
yang serius. Sebenarnya, masing-masing daerah saling membutuhkan satu
sama lainnya dalam mendorong proses pembangunan di daeranya
masing-masing sehingga perencanaan pembangunan dapat berjalan terpadu.
Terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi antar daerah sangat
penting untuk mempercepat realisasi pembangunan di daerah. Namun,
koordinasi antar kepala daerah kerapkali kurang berjalan efektif bahkan
kerap dihadapi konflik kepentingan dalam penyusunan dan pelaksanaan
program. Masing-masing kepala daerah, baik gubernur, bupati maupun
walikota kebanyakan masih memiliki ego sektoral sehingga terjadi
ketimpangan pembangunan antar wilayah. Ketidaksinkronan dan tidak
sinergiasnya antar para aktor pembangunan ini juga bertentangan dengan
tujuan dari sistem perencanaan pembangunan yang tercantum dalam UU No 25
Tahun 2004 pasal 2 ayat 4 butir a dan b yang mana berbunyi ”mendukung
koordinasi antarpelaku pembangunan dan menjamin terciptanya integrasi,
sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antar-ruang, antar waktu,
antar fungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah.” Dalam
kondisi demikian, menurut Sjahrizal (2009) dibutuhkan pemetaan akan
kebutuhan dari masing-masing wilayah sehingga pembangunan dapat
dilakukan secara terpadu dan proporsional. Ada baiknya jika antar kepala
daerah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Jangka Menengah
sesuai masa jabatan kepala daerah. Sinkronisasi dan integrasi juga harus
rencana strategis (Renstra) yang jelas dan terarah dan mewakili semua
kepentingan wilayah[3].
UU No 25 Tahun 2004 dan paradigma konsep administrasi publik
Disini
akan dibahas bagaimana hubungan uu no 25/2004 dengan padigma konsep
administrasi publik. Seperti yang diketahui saat ini berkembang tiga
konsep dalam ilmu administrasi publik antara lain: Old Public
Adminstration, New Public Management dan New Public Service[4].
Dalam tiap butir isi dari uu no 25/2004 sendiri terdapat butir pasal
yang isinya mengakomodir prinsip dasar yang terkandung dalam tiga konsep
Administrasi Publik. Maka dari itu dibagian ini akan diperlihatkan UU
No 25 tahun 2004 lebih dominan mengakomodasi prinsip dasar apakah
dominan prinsip Old Public Adminsitration, New Public Management atau
New Public Service.
Jika
disimak pasal demi pasal, pasal 2 dari UU tersebut yang memuat tujuan
dan asas penyelenggaraan perencanaan pembangunan jelas mengakomodasi
prinsip New Public Service, karena berdasarkan bunyi pasal 2 ayat 1
adalah Pembangunan Nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi
dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan Nasional. Selain itu dalam pasal 2 ayat 4 butir d disebutkan bahwa UU No 25 Tahun 2004 ini mempunyai tujuan yang sangat luas, yaitu untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat.
Kata yang di cetak tebal oleh penulis merupakan suatu prinsip dasar
yang ada pada New Public Service yang mana konsep citizenship dan
democratic merupakan element fundamental dalam konsep administrasi
publik yang menganut paradigma new public service. Sebagaimana yang
dikemukakan J. Denhardt dan R. Denhardt (2003) bahwa NPS adalah
paradigma adminstrasi publik baru yang bercirikan demokrasi dengan
memberi penghargaan terhadap martabat warga negara (citizen) sebagai
manusia dalam pelayanan publik, negara lebih banyak menjadi pendengar
daripada member petunjuk serta lebih banyak melayani daripada
mengarahkan, warga negara dilibatkan penuh bahkan didorong wajib untuk
berpartisipasi aktif dalam proses pemerintahan[5].
Bibliografi
[1] Statement Imam Prasojo Dosen UI. Diakses dari http://tempo.co/6-okt/2004/ini-pandangan-dosen-ui-tentang-uu-no25-th2004/ diakses pada 12 November 2014
[2] Dadang Solihin, Isu dan Masalah Perencanaan Pembangunan Daerah,
Lokakarya Penyusunan Pembangunan Daerah, 26 November 2008.
Lokakarya Penyusunan Pembangunan Daerah, 26 November 2008.
[3] Sjafrizal, Teknis Praktis Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah, Baduose Media, 2009
[4] Miftah Thoha, Ilmu Adminstrasi Publik Kontemporer, Penerbit Kencana, Jakarta, 2010.
[5] J Denhardt dan R Denhardt, New Public Service: Serving not Steering, ME Sharpe, New York, 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar