Minggu, 23 Agustus 2015

Jokowi harus belajar kepada presiden BEM UGM !




Dewasa ini saya dipusingkan dengan perkara mikirin nasib negara. Padahal saya sudah males ngurusin negara, ya soalnya gitu negara kita kondisinya ndak kunjung membaik, mulai dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar, pasal penghinaan presiden, konflik antar menteri, dan perkara lain yang saya lupa saking banyaknya masalah yang mendera negara ini. akibat dari semakin banyaknya masalah yang melanda negara ini. Tak urung Jokowi pun mendapat banyak nyinyiran. Wajar dong. Namanya juga negeri absurd. Kalo di negara lain mah, presiden tugasnya ngurusun rakyat. Lah di sini, di negeri absurd ini, justru rakyat yang ngurusin presiden. Apa ndak hebat? Saya jadi inget kata-kata teman saya yang anak gaul bekasi, dia pernah bilang, ‘hoby ngurusin orang kok dipelihara, kambing noh pelihara’. Mari tinggalkan perkara pelihara-peliharaan.

Status saya sebagai mahasiswa yang bergelar agent of change harus segera diproklamirkan, saya harus memberi solusi terhadap segala permasalahan bangsa. Padahal Saya ndak punya banyak ide untuk membangun bangsa, maklum hidup saya gur ngopi, ngudut, turu tok berdialektika terus. Maklum efek libur panjang jadi daya progressifitas saya masih rendah. Dengan keterbatasan ide yang saya punya, saya cuma bisa ngasih usul pada pak jokowi kalau bliyo harus meniru presiden mahasiswa BEM UGM soal kepemipinan.

Presma UGM ini mempunyai kemiripan soal karir jenjang politik dengan Jokowi. Jika pak jokowi pernah menjabat sabagai gubernur DKI sebelum menjadi presiden, maka presma UGM ini juga pernah menjabat sebagai sekjen dema fisipol sebelum menjadi presma. Uniknya lagi keduanya naik jabatan sebelum masa pemerintahannya belum berakhir. Sangat disayangkan presma UGM ini memutuskan untuk (di) keluar(kan) dari dema fisipol, padahal dibawah arahannya dema fisipol sukses menjadi lembaga yang tinggi menjulang mengakar kedalam, begitu kiranya.

 Yang lebih ajaib lagi keduanya sama-sama mempunyai lawan politik. Jika jokowi vis a vis KMP, Presma UGM ini mempunyai lawan politik yaitu Dema Fisipol, lembaga yang dijuluki lembaga lain oleh bliyo ini sering nyinyirin presma UGM dan BEM KMnya, tapi yang saya salut dari presma UGM ini bliyo tidak menghiraukannya, karena menurut simpatisannya BEM KM tidak  level untuk ngurusin Lembaga ecek-ecek tingkat fakultas macam Dema. BEM KM sekarang sudah naik levelnya menjadi garda terdepan dalam mengurusi negara. Kita patut beri apresiasi tentunya.

Lantas apa yang harus ditiru oleh jokowi dari seorang presma UGM? Kok berani beraninya saya yang hanya butiran jasjus dalam dunia intelektual ini nyuruh orang sekelas presiden RI untuk belajar kepada orang yang hanya bergelar presma UGM. Eitsss, jangan anggap rendah dulu Presma UGM ini, bliyo ini sosok orang yang ramah, merakyat, pengingat dan pandai menghitung. Bayangkan saja presma UGM ini tiap hari membuat status di socmednya dengan diawali dengan kalimat pembuka sesuai dengan jumlah hari keberapa bliyo menjabat sebagai presma. Coba bandingkan dengan jokowi yang__ saya berani bertaruh kalo jokowi pasti tidak ingat sudah berapa hari ia memimpin indonesia.

 Kemudian apa yang pantas ditiru jokowi dari seorang presma UGM?. Ketegasan tanpa ragu dari presma UGM harus di tiru oleh Jokowi, mengingat jokowi dikenal dengan pemimpin yang lembek dan mudah disetir oleh kepentingan oligarki nakal. Berbanding terbalik dengan jokowi sang presma orang yang tegas dan bukan petugas partai. Bliyo dianggap berdiri sebagai wakil dari mahasiswa UGM, padahal apa yang dikatakannya belum tentu mewakili suara dari mahasiswa UGM. Keren kan? Bliyo juga orang yang teliti dan orang yang sangat detail mengurus hal yang  kecil. Buktinya beliau sempat menyemprot lembaga lain yang dianggapnya mengutip atau membajak informasi yang berasal dari akun official BEM KM. Akibat tindakannya yang tanpa kompromi itu, lembaga lain tersebut dipaksa menyampaikan rilis permintaan maaf yang as joss as possible.

Selain itu gaya orasi yang presma UGM yang meledak-ledak sampai urat lehernya terlihat harus ditiru oleh jokowi. Pasalnya jokowi sering dikritik gara-gara gaya orasi atau pidatonya yang kalem, nyontek naskah bin bikin ngantuk. FYI aja orasi pak presma sukses membuat khalayak maba emes terpesona loh. Dan mereka tak ragu memberi aplos. Saya pun termasuk orang yang bela-belain datang ke acara tersebut hanya untuk melihat pak presma memberikan khutbah progressif pada maba emes.

Terakhir yang harus dicontoh jokowi dari seorang presma UGM adalah cara dia bikin adem kabinetnya. Pasalnya jokowi masih dipusingkan dengan perkara kurang ademnya kabinet kerja. Jika teman-teman hadir pada penutupuan ppsmb palapa, pasti teman teman akan menilai bahwa pak presma ini sangat kompak dan sayang dengan menterinya. Saking sayangnya kepada jajaran menterinya sampai-sampai para menterinya bliyo ajak ke atas panggung untuk mejeng dibelakang bliyo yang sedang khusuk memberikan kutbah progressif dihadapan maba emes. Cara seperti ini mestinya ditiru oleh jokowi,, agar supaya menteri-menterinya bisa akur dan tidak berantem satu sama lain. Coba bayangkan jika jokowi berpidato terus didampingi oleh para menterinya yang mejeng di belakang bliyo, pasti sterotip publik terhadap menteri dikabinet jokowi akan kembali baik.

Kalau saya boleh nilai dari segi kepimpinan jokowi mah ga ada apa-apanya dibanding pak presma UGM. Tapi pak jokowi masih punya satu keunggulan dibanding pak presma yaitu pak jokowi masih merupakan sosok yang bukan termasuk kedalam golongan kacang lupa kulit buktinya bliyo masih setia sungkem dan sering mengajak  ibu mega dalam acara kenegaraan. Berbeda dengan pak presma UGM ini yang dicap sebagai orang yang kacang lupa kulit oleh salah satu teman saya karena dirasa memperlakukan lembaga lain secara berlebihan. Tak hanya  kacang lupa kulit, ada juga yang menjuluki beliau sebagai gado-gado lupa kerupuk seperti itu.

Sekian cangkeman saya yang as joss ass osolole semoga bermanfaat. Hidupppp ....... ....(silahkan isi sendiri)

Sabtu, 28 Februari 2015

Ramai yang sepi, Sepi yang ramai.

Pengantar

Pernahkan njennengan merasa kesepian? Kalau iya, niscaya njennengan akan mencari keramaian. Bisa jadi pergi ke kontrakan/kos teman dan kemudian mengajaknya nongkrong entah di café yang kelasnya melati sampai yang berbintang. Entah apapun itu segala aktifitas yang sekiranya dapat mengusir rasa kesepian njennengan. Yang jadi pertanyaannya kemudian apakah dengan njennengan pergi ke pusat keramaian, lantas apakah rasa sepi njennengan bisa hilang? Atau malah dalam keramaian tersebut njennengan masih merasa sepi, seperti lagunya Dewa 19 judulnya kosong (di dalam keramaian aku masih merasa sepi, sendiri memikirkan kamu)?. Monggo dijawab dengan jawaban njennengan masing-masing. Tapi disini saya mencoba mendiskripsikan apa yang dirasakan oleh njennengan yang masih merasakan sepi dalam ramai, melalui prespektif saya pribadi tentunya.
Apakah dalam keramaian selalu ramai?

Apa yang njennengan pikirkan jika membayangkan kata “keramaian” ? Mungkin yang terlintas dalam pikiran njennengan adalah suasana dimana banyak orang yang tertawa, ngobrol, ngerumpi, ngegosip, atau ada hiburan, hajatan atau apalah. Iya itu semua memang benar dan wajar. Namun keramaian bukan soal itu melulu. Akan tetapi, pada dasarnya keramaian bagi para penyepi bukanlah suatu keramaian yang benar-benar ramai. Ketika orang-orang kesepian (semacam saya) berkumpul di pusat-pusat keramaian, yang terjadi bukanlah keramaian, akan tetapi yang terjadi adalah kumpulan orang-orang kesepian yang ramai dengan membawa sepinya masing-masing. Saat itulah ramai yang sepi mengada. Padahal jika para penyepi tadi lebih menikmati kesendiriannya lebih dalam maka akan timbul hakikat keramaian lain, yakni keramaian dalam diri. Apa sih yang dimaksud dengan keramaian dalam diri? Pernahkan njennengan dalam kesendiriannya hanyut dalam lamunan, angan, bayang-bayang, ilusi, halusinasi dan konco koncone? Nah itulah yang saya maksud keramaian dalam diri. Dalam sepi njennengan sebenarnya sudah ramai, iya ramai dengan lamunan, angan, bayang-bayang, ilusi, dan halusinasi. Gimana bingung kan? sama saya juga bingung. Oleh karena itu kalau boleh meminjam apa yang dikatakan Candra Malik (2014) bahwa “yang dibutuhkan oleh orang yang kesepian adalah pengertian, bukan keramaian. Ia merasa sepi sejak merasa tak dimengerti”. Bisa tak dimengerti oleh kisah cintanya, atmosfer tempat tinggalnya, lingkungannya, teman-temannya, dan suatu keadaan lain yang membebaninya. Sehingga ia mencari pelarian yang sekiranya bisa membuat ia merasa termengertikan.


Sepinya para pecinta

Dalam sepinya para pecinta pasti bersemayam kegelisahan. Kegelisahan itulah yang kemudian melahirkan rindu. Apalagi buat mereka yang LDR bisa gelisah ingin secepatnya berjumpa, yang  SDR bisa juga gelisah karena jika chatnya dibalesnya lama jadi ngambek, yang jomblo gelisah karena meratapi nasibnya, gegara sudah kuliah tapi belum nyicip yang namanya pacaran. Duh dek, setiap diri sudah barang tentu punya kegelisahannya masing-masing. Berawal dari sepi yang gelisah itulah maka muncullah tulisan ini. Bagi kita makhluk pencinta ciptaan sang maha cinta yang pernah bercinta mungkin pernah kenal dengan rindu. Kerinduan bisa jadi muncul karena berpisahnya kedua insan yang di mabuk asmara. Bisa dipisahkan oleh jarak,waktu ataupun nasib. Sering kita mendengar frasa-frasa awal dari perpisahan adalah perj umpaan. Tak ada perpisahan yang mendahului perjumpaan. Tak ada yang salah memangdengan frasa tadi. Lebih ekstrem lagi Candra Malik (2014) bilang “kalau perjumpaan adalah perpisahan, karena setiap berjumpa dengan yang kau cinta. Setiap itulah kau musnah. Yang ada hanyalah kekasihmu. Kau berpisah dan terpisah dengan dirimu sendiri- yang ada hanya dia, tok. Kenapa? Karena kau akan fokus untuk melayani yang kau cinta, kau berpisah dengan egomu. Dan akan kembali bertemu dengan ego mu setelah selesai urusanmu dan berpisah dengan yang kau cinta”. Semenjak itulah kau akan berpisah dengan cinta dan bertemu serta bergumul kembali dengan rindu.  Berbicara masalah cinta memang tak bisa dipisahkan dengan rindu. Tak ada pencinta yang tak rindu, begitupun sebaliknya. Tak ada cinta yang rapi, rindu membuatnya berantakan lagi. Seperti tulisan ini yang berantakan. Padahal diatas lagi ngomongin ramai dan sepi eh malah nulisin cinta dan rindu. Padahal masih banyak yang akan aku tuliskan. Tapi aku lagi tak punya waktu. Segalanya telah dihabisi rindu. Segalanya seketika menjadi buntu, ketika cinta mengalami rindu. Begitulah rindu, ia adalah alarm paling menyakitkan, berdering tak kenal waktu dan tak bisa dimatikan.