Selasa, 28 Oktober 2014

Birokrasi Red Tape ala Fisipol

Belum genap setahun menikmati euphoria sebagai maba di Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol, jurusan yang bisa dibilang sangat proaktif dalam menyuarakan reformasi birokrasi dimana-mana, baik melalui doktrinnya via dosen yang berupa proses pembelajaran dalam kelas kepada mahasiswanya maupun melalui doktrin yang berupa karya ilmiah civitasnya baik itu buku maupun riset yang berisi tentang seruan semangat reformasi  birokrasi, penulis merasa ada yang ganjal dan terjadi kontradiksi terhadap seruan reformasi birokrasi yang digalang oleh jurusan dan system birokrasi di fisipol. Perlu diketahui reformasi birokrasi (Keban:2008) pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap system organisasi publik yang menyangkut penyelenggaraan pelayanan publik.[1]
Bagaimana Sistem Birokrasi di Fisipol?
Sebelum lebih jauh mengenal bagaimana atmosfer system birokrasi di fisipol, mari sejenak kita bernostalgia dengan memahami beberapa definisi dari birokrasi. Kebanyakan dari kita birokrasi sering  di identikkan suatu system yang mana ketika berurusan dengan birokrasi kita akan dihadapkan pada peraturan-peraturan yang ketat prosedural, pelayanan yang lamban, kurang flexible dan sebagainya (anda pasti punya pandangan yang bebas mengenai birokrasi). Guna mempercepat urusan dengan birokrasi tak jarang ada yang memberi “salam tempel” pada para birokrat, atau jika kita bisa gabungkan semua tentang birokrasi seperti yang penulis deskripsikan diatas menjadi birokrasi red tape. Nah ciri-ciri diatas hampir sama dengan teori birokrasi tipe idealnya Max Webber yaitu adanya rantai komando, prosedur yang ketat, pendelegasian wewenang harus sesuai dengan hirarki jabatan yang jelas dll.[2]
Nah jurusan MKP telah merespon problema-problema yang terjadi dalam birokrasi ini dengan proaktif menggelorakan semangat Reformasi Birokrasi, begitu banyak karya ilmiah baik itu buku maupun  riset tentang Reformasi Birokrasi yang dibuat oleh para civitas MKP, salah satu buku yang dirilis JMKP yaitu Reformasi Administrasi Aparatur Negara[3] ditinjau kembali yang diterbitkan pada tahun 2011 silam. Yang meresahkan penulis adalah ketika jurusan MKP responsif dengan problema birokrasi tersebut  mereka tidak sadar bahwa di titik birokrasi terdekat yakni Front Office Fisipol atau lebih tak asing di telinga mahasiswa fisipol sebagai FO, masih memiliki problema Birokrasi Red Tape seperti yang telah disebutkan diatas.
Sebagai contoh kasus Red Tape yang terjadi di FO adalah, kita kerap kali mendapatkan pelayanan kurang baik dari staff FO kepada mahasiswa, mulai dari lambannya mereka dalam mencairkan dana UKMF, sampai pada banyaknya prosedur yang dibuat oleh pihak FO ketika mahasiswa sedang bermasalah dalam akademik,bukannya mempermudah urusan malah mereka terkesan mempersulit urusan, mereka seringkali melipat dahi dan mengerutkan muka ketika hendak melayani mahasiswa. Lebih parah lagi, kalau staff tersebut mengeluarkan jurus Ping-Pong nya, sehingga mahasiswa disuruh kesana-kemari hanya untuk menyelesaikan soal administrasi saja. Tak jarang banyak para mahasiswa yang telah berurusan dengan FO sering terpampang wajah kaku dan menggelengkan kepala ketika hendak keluar dari FO seolah menggambarkan ekspresi kekesalan karena tak puas terhadap pelayanan FO.  System birokrasi seperti di fisipol yang kaku, lamban, dan bisa dibilang buruk dalam mendelivery pelayanan publik ini terjadi di kebanyakan birokrasi di negara kita, menurut penulis birokrasi yang baik adalah birokrasi menurut Bintoro (1984) birokrasi yang diciptakan guna pekerjaan dalam pelayanan publik terorganisir dan ter delivery dengan cepat.[4] Kasus seperti di FO inilah yang tak terlihat oleh JMKP yang terkesan menyuarakan reformasi birokrasi secara lantang keluar namun bisu kedalm, dan yang semakin miris adalah  saat ini Dekan Fisipol dimimpin oleh salah satu dosen  asal JMKP  yang bergelar Doctor yang seharusnya lebih tahu bagaimana soal reformasi birokrasi. Penulis tak bisa menebak apakah JMKP dan pak Dekan  memang tidak tahu akan keadaan ini, atau tahu tapi kura-kura dalma perahu?. Coba kita tanya pada mobil mewah yang berjejer diparkiran dosen Fisipol.  


1                 Y T. Keban Prof. Dr.; Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Teori dan Isu; 2008.

[2]               Max Weber (1864) Theory Of Bereucracy.
[3]               Buku Reformasi Administrasi Aparatur Negara Ditinjau kembali merupakan buku yang dibuat oleh beberapa dosen JMKP guna merespon masalah yang terjadi dalam birokrasi di Indonesia.
[4]               Bintoro Tjokroamidjojo: Perkembangan Ilmu Administrasi Negara di Indonesia: Research di Indonesia. 1984

Pesepakbolaan kita (kembali) tercoreng



Jika berbicara tentang wajah buram pesepakbolaan Indonesia memang seolah tiada habisnya, setelah sebelumnya kita menjadi sorotan dunia karena kematian salah satu pesepakbola asal aceh yang meninggal dunia akibat tekel horror saat pertandingan. Hari ini kita kembali menjadi sorotan dunia setelah dihebohkan oleh peristiwa “sepakbola gajah” yang diperagakan oleh kesebelasan PSIS kontra PSS. Dalam pertandingan tersebut terjadi hal yang tak lazim didalam dunia sepakbola dimana pertandingan yang berakhir dengan skor 3-2 untuk kemenangan PSS itu, total 5 gol yang tercipta dalam pertandingan tersebut di cetak melalui gol bunuh diri yang dilakukan secara sengaja oleh pemain dari kedua kebelasan tadi. Kedua tim berdalih bahwa mereka melakukan sepakbola gajah karena untuk menghindari Borneo FC yang berpeluang menjadi lawan salah satu diantara mereka di babak berikutnya. Implikasinya kemudian adalah PSSI melalu komdisnya menghukum kedua tim ini terdiskualifikasi dari ajang Divisi Utama.
Fenomena sepakbola gajah mengingatkan penulis ketika pelaksanaan piala tiger 1998 dimana saat itu bek kita mursyid effendi secara sengaja melakukan goal bunuh diri dengan alibi menghindari melawan Vietnam. Jika dinalar secara logis setiap tim yang berlaga pasti bertujuan untuk mencetak banyak gol serta memenangkan setiap pertandingan, berbeda dengan pertandingan antara PSIS vs PSS dimana kedua tim yang berlaga ini saling mengalah dengan mencetak gol bunuh diri ke gawangnya masing-masing.  Fenomena yang tak lazim di dunia sepaknola ini bukan hanya menodai semangat fairplay namun pertandingan tersebut terindikasi adanya mafia pengaturan skor didalamnya. Ya mafia bola memang selalu menghantui dunia sepakbola tak hanya di Indonesia juga di negara yang sepakbolanya maju seperti inggris dan italia tak luput dari cengkraman para mafia bola. Di Indonesia sendiri mafia bola tidak hanya berada di luar organisasi PSSI maupun klub peserta kompetisi, namun para mafia ini ber sel-sel dengan memasuki sampai posisi structural di dalam organisasi PSSI maupun di klub peserta. Terbukti saat ini orang-orang yang duduk di PSSI bukan merupakan orang yang punya latarbelakang mengurusi sepakbola namun kebanyakan dari mereka merupakan para politisi yang mencari uang lewat pesepakbolaan kita. Selain itu orang-orang dalam kepengurusan PSSI saat ini masih mempunyai hubungan “ baik” dengan Nurdin Halid yang mana merupakan mantan ketua umum PSSI sekaligus mafia sepakbola Indonesia yang berhasil digulingkan paksa oleh para supporter.
Dengan masuknya para mafia sampai ke pos pos structural membuat mafia bola berkedok pengurus PSSI maupun klub peserta lebih leluasa dalam menjalankan misinya. Permasalahan mafia bola memang sulit untuk diberantas mengingat keberadaannya yang sistematis dan ber sel-sel, selain itu para mafia yang kebanyakan berprofesi sebagai politisi itu cenderung “tak tersentuh” hukum. Hal ini tidak boleh dibiarkan karena jika pesepakbolaan kita masih disetir oleh para mafia bola, melihat sang garuda disegani dalam bidang sepakbola hanyalah isapan jempol belaka. Semua elemen yang mengaku peduli akan nasib pesepakbolaan kita yang tak kunjung maju bahkan terkesan mundur ini harus bersatu untuk mengungkap praktek mafia bola di Indonesia. Tak cukup sampai disitu pemerintah baik melalui kemenpora maupun KONI yang secara hirarkis berada di atas PSSI serta mempunyai otoritas lebih untuk melakukan sesuatu yang sifatnya teguran keras kepada PSSI, harus bersinergi guna mewujudkan pesepakbolaan kita yang bersih dan profesional yang akan berimplikasi pada majunya sepakbola kita.