Jika berbicara tentang
wajah buram pesepakbolaan Indonesia memang seolah tiada habisnya, setelah
sebelumnya kita menjadi sorotan dunia karena kematian salah satu pesepakbola
asal aceh yang meninggal dunia akibat tekel horror saat pertandingan. Hari ini
kita kembali menjadi sorotan dunia setelah dihebohkan oleh peristiwa “sepakbola
gajah” yang diperagakan oleh kesebelasan PSIS kontra PSS. Dalam pertandingan
tersebut terjadi hal yang tak lazim didalam dunia sepakbola dimana pertandingan
yang berakhir dengan skor 3-2 untuk kemenangan PSS itu, total 5 gol yang tercipta
dalam pertandingan tersebut di cetak melalui gol bunuh diri yang dilakukan
secara sengaja oleh pemain dari kedua kebelasan tadi. Kedua tim berdalih bahwa
mereka melakukan sepakbola gajah karena untuk menghindari Borneo FC yang
berpeluang menjadi lawan salah satu diantara mereka di babak berikutnya.
Implikasinya kemudian adalah PSSI melalu komdisnya menghukum kedua tim ini
terdiskualifikasi dari ajang Divisi Utama.
Fenomena sepakbola
gajah mengingatkan penulis ketika pelaksanaan piala tiger 1998 dimana saat itu
bek kita mursyid effendi secara sengaja melakukan goal bunuh diri dengan alibi
menghindari melawan Vietnam. Jika dinalar secara logis setiap tim yang berlaga
pasti bertujuan untuk mencetak banyak gol serta memenangkan setiap pertandingan,
berbeda dengan pertandingan antara PSIS vs PSS dimana kedua tim yang berlaga
ini saling mengalah dengan mencetak gol bunuh diri ke gawangnya masing-masing. Fenomena yang tak lazim di dunia sepaknola ini
bukan hanya menodai semangat fairplay namun pertandingan tersebut terindikasi
adanya mafia pengaturan skor didalamnya. Ya mafia bola memang selalu menghantui
dunia sepakbola tak hanya di Indonesia juga di negara yang sepakbolanya maju
seperti inggris dan italia tak luput dari cengkraman para mafia bola. Di Indonesia
sendiri mafia bola tidak hanya berada di luar organisasi PSSI maupun klub peserta
kompetisi, namun para mafia ini ber sel-sel dengan memasuki sampai posisi structural
di dalam organisasi PSSI maupun di klub peserta. Terbukti saat ini orang-orang
yang duduk di PSSI bukan merupakan orang yang punya latarbelakang mengurusi
sepakbola namun kebanyakan dari mereka merupakan para politisi yang mencari
uang lewat pesepakbolaan kita. Selain itu orang-orang dalam kepengurusan PSSI saat
ini masih mempunyai hubungan “ baik” dengan Nurdin Halid yang mana merupakan
mantan ketua umum PSSI sekaligus mafia sepakbola Indonesia yang berhasil
digulingkan paksa oleh para supporter.
Dengan masuknya para
mafia sampai ke pos pos structural membuat mafia bola berkedok pengurus PSSI
maupun klub peserta lebih leluasa dalam menjalankan misinya. Permasalahan mafia
bola memang sulit untuk diberantas mengingat keberadaannya yang sistematis dan ber
sel-sel, selain itu para mafia yang kebanyakan berprofesi sebagai politisi itu
cenderung “tak tersentuh” hukum. Hal ini tidak boleh dibiarkan karena jika
pesepakbolaan kita masih disetir oleh para mafia bola, melihat sang garuda
disegani dalam bidang sepakbola hanyalah isapan jempol belaka. Semua elemen
yang mengaku peduli akan nasib pesepakbolaan kita yang tak kunjung maju bahkan
terkesan mundur ini harus bersatu untuk mengungkap praktek mafia bola di
Indonesia. Tak cukup sampai disitu pemerintah baik melalui kemenpora maupun
KONI yang secara hirarkis berada di atas PSSI serta mempunyai otoritas lebih untuk
melakukan sesuatu yang sifatnya teguran keras kepada PSSI, harus bersinergi
guna mewujudkan pesepakbolaan kita yang bersih dan profesional yang akan berimplikasi
pada majunya sepakbola kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar