Selasa, 28 Oktober 2014

Pesepakbolaan kita (kembali) tercoreng



Jika berbicara tentang wajah buram pesepakbolaan Indonesia memang seolah tiada habisnya, setelah sebelumnya kita menjadi sorotan dunia karena kematian salah satu pesepakbola asal aceh yang meninggal dunia akibat tekel horror saat pertandingan. Hari ini kita kembali menjadi sorotan dunia setelah dihebohkan oleh peristiwa “sepakbola gajah” yang diperagakan oleh kesebelasan PSIS kontra PSS. Dalam pertandingan tersebut terjadi hal yang tak lazim didalam dunia sepakbola dimana pertandingan yang berakhir dengan skor 3-2 untuk kemenangan PSS itu, total 5 gol yang tercipta dalam pertandingan tersebut di cetak melalui gol bunuh diri yang dilakukan secara sengaja oleh pemain dari kedua kebelasan tadi. Kedua tim berdalih bahwa mereka melakukan sepakbola gajah karena untuk menghindari Borneo FC yang berpeluang menjadi lawan salah satu diantara mereka di babak berikutnya. Implikasinya kemudian adalah PSSI melalu komdisnya menghukum kedua tim ini terdiskualifikasi dari ajang Divisi Utama.
Fenomena sepakbola gajah mengingatkan penulis ketika pelaksanaan piala tiger 1998 dimana saat itu bek kita mursyid effendi secara sengaja melakukan goal bunuh diri dengan alibi menghindari melawan Vietnam. Jika dinalar secara logis setiap tim yang berlaga pasti bertujuan untuk mencetak banyak gol serta memenangkan setiap pertandingan, berbeda dengan pertandingan antara PSIS vs PSS dimana kedua tim yang berlaga ini saling mengalah dengan mencetak gol bunuh diri ke gawangnya masing-masing.  Fenomena yang tak lazim di dunia sepaknola ini bukan hanya menodai semangat fairplay namun pertandingan tersebut terindikasi adanya mafia pengaturan skor didalamnya. Ya mafia bola memang selalu menghantui dunia sepakbola tak hanya di Indonesia juga di negara yang sepakbolanya maju seperti inggris dan italia tak luput dari cengkraman para mafia bola. Di Indonesia sendiri mafia bola tidak hanya berada di luar organisasi PSSI maupun klub peserta kompetisi, namun para mafia ini ber sel-sel dengan memasuki sampai posisi structural di dalam organisasi PSSI maupun di klub peserta. Terbukti saat ini orang-orang yang duduk di PSSI bukan merupakan orang yang punya latarbelakang mengurusi sepakbola namun kebanyakan dari mereka merupakan para politisi yang mencari uang lewat pesepakbolaan kita. Selain itu orang-orang dalam kepengurusan PSSI saat ini masih mempunyai hubungan “ baik” dengan Nurdin Halid yang mana merupakan mantan ketua umum PSSI sekaligus mafia sepakbola Indonesia yang berhasil digulingkan paksa oleh para supporter.
Dengan masuknya para mafia sampai ke pos pos structural membuat mafia bola berkedok pengurus PSSI maupun klub peserta lebih leluasa dalam menjalankan misinya. Permasalahan mafia bola memang sulit untuk diberantas mengingat keberadaannya yang sistematis dan ber sel-sel, selain itu para mafia yang kebanyakan berprofesi sebagai politisi itu cenderung “tak tersentuh” hukum. Hal ini tidak boleh dibiarkan karena jika pesepakbolaan kita masih disetir oleh para mafia bola, melihat sang garuda disegani dalam bidang sepakbola hanyalah isapan jempol belaka. Semua elemen yang mengaku peduli akan nasib pesepakbolaan kita yang tak kunjung maju bahkan terkesan mundur ini harus bersatu untuk mengungkap praktek mafia bola di Indonesia. Tak cukup sampai disitu pemerintah baik melalui kemenpora maupun KONI yang secara hirarkis berada di atas PSSI serta mempunyai otoritas lebih untuk melakukan sesuatu yang sifatnya teguran keras kepada PSSI, harus bersinergi guna mewujudkan pesepakbolaan kita yang bersih dan profesional yang akan berimplikasi pada majunya sepakbola kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar