Minggu, 23 Agustus 2015

Jokowi harus belajar kepada presiden BEM UGM !




Dewasa ini saya dipusingkan dengan perkara mikirin nasib negara. Padahal saya sudah males ngurusin negara, ya soalnya gitu negara kita kondisinya ndak kunjung membaik, mulai dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar, pasal penghinaan presiden, konflik antar menteri, dan perkara lain yang saya lupa saking banyaknya masalah yang mendera negara ini. akibat dari semakin banyaknya masalah yang melanda negara ini. Tak urung Jokowi pun mendapat banyak nyinyiran. Wajar dong. Namanya juga negeri absurd. Kalo di negara lain mah, presiden tugasnya ngurusun rakyat. Lah di sini, di negeri absurd ini, justru rakyat yang ngurusin presiden. Apa ndak hebat? Saya jadi inget kata-kata teman saya yang anak gaul bekasi, dia pernah bilang, ‘hoby ngurusin orang kok dipelihara, kambing noh pelihara’. Mari tinggalkan perkara pelihara-peliharaan.

Status saya sebagai mahasiswa yang bergelar agent of change harus segera diproklamirkan, saya harus memberi solusi terhadap segala permasalahan bangsa. Padahal Saya ndak punya banyak ide untuk membangun bangsa, maklum hidup saya gur ngopi, ngudut, turu tok berdialektika terus. Maklum efek libur panjang jadi daya progressifitas saya masih rendah. Dengan keterbatasan ide yang saya punya, saya cuma bisa ngasih usul pada pak jokowi kalau bliyo harus meniru presiden mahasiswa BEM UGM soal kepemipinan.

Presma UGM ini mempunyai kemiripan soal karir jenjang politik dengan Jokowi. Jika pak jokowi pernah menjabat sabagai gubernur DKI sebelum menjadi presiden, maka presma UGM ini juga pernah menjabat sebagai sekjen dema fisipol sebelum menjadi presma. Uniknya lagi keduanya naik jabatan sebelum masa pemerintahannya belum berakhir. Sangat disayangkan presma UGM ini memutuskan untuk (di) keluar(kan) dari dema fisipol, padahal dibawah arahannya dema fisipol sukses menjadi lembaga yang tinggi menjulang mengakar kedalam, begitu kiranya.

 Yang lebih ajaib lagi keduanya sama-sama mempunyai lawan politik. Jika jokowi vis a vis KMP, Presma UGM ini mempunyai lawan politik yaitu Dema Fisipol, lembaga yang dijuluki lembaga lain oleh bliyo ini sering nyinyirin presma UGM dan BEM KMnya, tapi yang saya salut dari presma UGM ini bliyo tidak menghiraukannya, karena menurut simpatisannya BEM KM tidak  level untuk ngurusin Lembaga ecek-ecek tingkat fakultas macam Dema. BEM KM sekarang sudah naik levelnya menjadi garda terdepan dalam mengurusi negara. Kita patut beri apresiasi tentunya.

Lantas apa yang harus ditiru oleh jokowi dari seorang presma UGM? Kok berani beraninya saya yang hanya butiran jasjus dalam dunia intelektual ini nyuruh orang sekelas presiden RI untuk belajar kepada orang yang hanya bergelar presma UGM. Eitsss, jangan anggap rendah dulu Presma UGM ini, bliyo ini sosok orang yang ramah, merakyat, pengingat dan pandai menghitung. Bayangkan saja presma UGM ini tiap hari membuat status di socmednya dengan diawali dengan kalimat pembuka sesuai dengan jumlah hari keberapa bliyo menjabat sebagai presma. Coba bandingkan dengan jokowi yang__ saya berani bertaruh kalo jokowi pasti tidak ingat sudah berapa hari ia memimpin indonesia.

 Kemudian apa yang pantas ditiru jokowi dari seorang presma UGM?. Ketegasan tanpa ragu dari presma UGM harus di tiru oleh Jokowi, mengingat jokowi dikenal dengan pemimpin yang lembek dan mudah disetir oleh kepentingan oligarki nakal. Berbanding terbalik dengan jokowi sang presma orang yang tegas dan bukan petugas partai. Bliyo dianggap berdiri sebagai wakil dari mahasiswa UGM, padahal apa yang dikatakannya belum tentu mewakili suara dari mahasiswa UGM. Keren kan? Bliyo juga orang yang teliti dan orang yang sangat detail mengurus hal yang  kecil. Buktinya beliau sempat menyemprot lembaga lain yang dianggapnya mengutip atau membajak informasi yang berasal dari akun official BEM KM. Akibat tindakannya yang tanpa kompromi itu, lembaga lain tersebut dipaksa menyampaikan rilis permintaan maaf yang as joss as possible.

Selain itu gaya orasi yang presma UGM yang meledak-ledak sampai urat lehernya terlihat harus ditiru oleh jokowi. Pasalnya jokowi sering dikritik gara-gara gaya orasi atau pidatonya yang kalem, nyontek naskah bin bikin ngantuk. FYI aja orasi pak presma sukses membuat khalayak maba emes terpesona loh. Dan mereka tak ragu memberi aplos. Saya pun termasuk orang yang bela-belain datang ke acara tersebut hanya untuk melihat pak presma memberikan khutbah progressif pada maba emes.

Terakhir yang harus dicontoh jokowi dari seorang presma UGM adalah cara dia bikin adem kabinetnya. Pasalnya jokowi masih dipusingkan dengan perkara kurang ademnya kabinet kerja. Jika teman-teman hadir pada penutupuan ppsmb palapa, pasti teman teman akan menilai bahwa pak presma ini sangat kompak dan sayang dengan menterinya. Saking sayangnya kepada jajaran menterinya sampai-sampai para menterinya bliyo ajak ke atas panggung untuk mejeng dibelakang bliyo yang sedang khusuk memberikan kutbah progressif dihadapan maba emes. Cara seperti ini mestinya ditiru oleh jokowi,, agar supaya menteri-menterinya bisa akur dan tidak berantem satu sama lain. Coba bayangkan jika jokowi berpidato terus didampingi oleh para menterinya yang mejeng di belakang bliyo, pasti sterotip publik terhadap menteri dikabinet jokowi akan kembali baik.

Kalau saya boleh nilai dari segi kepimpinan jokowi mah ga ada apa-apanya dibanding pak presma UGM. Tapi pak jokowi masih punya satu keunggulan dibanding pak presma yaitu pak jokowi masih merupakan sosok yang bukan termasuk kedalam golongan kacang lupa kulit buktinya bliyo masih setia sungkem dan sering mengajak  ibu mega dalam acara kenegaraan. Berbeda dengan pak presma UGM ini yang dicap sebagai orang yang kacang lupa kulit oleh salah satu teman saya karena dirasa memperlakukan lembaga lain secara berlebihan. Tak hanya  kacang lupa kulit, ada juga yang menjuluki beliau sebagai gado-gado lupa kerupuk seperti itu.

Sekian cangkeman saya yang as joss ass osolole semoga bermanfaat. Hidupppp ....... ....(silahkan isi sendiri)

Sabtu, 28 Februari 2015

Ramai yang sepi, Sepi yang ramai.

Pengantar

Pernahkan njennengan merasa kesepian? Kalau iya, niscaya njennengan akan mencari keramaian. Bisa jadi pergi ke kontrakan/kos teman dan kemudian mengajaknya nongkrong entah di café yang kelasnya melati sampai yang berbintang. Entah apapun itu segala aktifitas yang sekiranya dapat mengusir rasa kesepian njennengan. Yang jadi pertanyaannya kemudian apakah dengan njennengan pergi ke pusat keramaian, lantas apakah rasa sepi njennengan bisa hilang? Atau malah dalam keramaian tersebut njennengan masih merasa sepi, seperti lagunya Dewa 19 judulnya kosong (di dalam keramaian aku masih merasa sepi, sendiri memikirkan kamu)?. Monggo dijawab dengan jawaban njennengan masing-masing. Tapi disini saya mencoba mendiskripsikan apa yang dirasakan oleh njennengan yang masih merasakan sepi dalam ramai, melalui prespektif saya pribadi tentunya.
Apakah dalam keramaian selalu ramai?

Apa yang njennengan pikirkan jika membayangkan kata “keramaian” ? Mungkin yang terlintas dalam pikiran njennengan adalah suasana dimana banyak orang yang tertawa, ngobrol, ngerumpi, ngegosip, atau ada hiburan, hajatan atau apalah. Iya itu semua memang benar dan wajar. Namun keramaian bukan soal itu melulu. Akan tetapi, pada dasarnya keramaian bagi para penyepi bukanlah suatu keramaian yang benar-benar ramai. Ketika orang-orang kesepian (semacam saya) berkumpul di pusat-pusat keramaian, yang terjadi bukanlah keramaian, akan tetapi yang terjadi adalah kumpulan orang-orang kesepian yang ramai dengan membawa sepinya masing-masing. Saat itulah ramai yang sepi mengada. Padahal jika para penyepi tadi lebih menikmati kesendiriannya lebih dalam maka akan timbul hakikat keramaian lain, yakni keramaian dalam diri. Apa sih yang dimaksud dengan keramaian dalam diri? Pernahkan njennengan dalam kesendiriannya hanyut dalam lamunan, angan, bayang-bayang, ilusi, halusinasi dan konco koncone? Nah itulah yang saya maksud keramaian dalam diri. Dalam sepi njennengan sebenarnya sudah ramai, iya ramai dengan lamunan, angan, bayang-bayang, ilusi, dan halusinasi. Gimana bingung kan? sama saya juga bingung. Oleh karena itu kalau boleh meminjam apa yang dikatakan Candra Malik (2014) bahwa “yang dibutuhkan oleh orang yang kesepian adalah pengertian, bukan keramaian. Ia merasa sepi sejak merasa tak dimengerti”. Bisa tak dimengerti oleh kisah cintanya, atmosfer tempat tinggalnya, lingkungannya, teman-temannya, dan suatu keadaan lain yang membebaninya. Sehingga ia mencari pelarian yang sekiranya bisa membuat ia merasa termengertikan.


Sepinya para pecinta

Dalam sepinya para pecinta pasti bersemayam kegelisahan. Kegelisahan itulah yang kemudian melahirkan rindu. Apalagi buat mereka yang LDR bisa gelisah ingin secepatnya berjumpa, yang  SDR bisa juga gelisah karena jika chatnya dibalesnya lama jadi ngambek, yang jomblo gelisah karena meratapi nasibnya, gegara sudah kuliah tapi belum nyicip yang namanya pacaran. Duh dek, setiap diri sudah barang tentu punya kegelisahannya masing-masing. Berawal dari sepi yang gelisah itulah maka muncullah tulisan ini. Bagi kita makhluk pencinta ciptaan sang maha cinta yang pernah bercinta mungkin pernah kenal dengan rindu. Kerinduan bisa jadi muncul karena berpisahnya kedua insan yang di mabuk asmara. Bisa dipisahkan oleh jarak,waktu ataupun nasib. Sering kita mendengar frasa-frasa awal dari perpisahan adalah perj umpaan. Tak ada perpisahan yang mendahului perjumpaan. Tak ada yang salah memangdengan frasa tadi. Lebih ekstrem lagi Candra Malik (2014) bilang “kalau perjumpaan adalah perpisahan, karena setiap berjumpa dengan yang kau cinta. Setiap itulah kau musnah. Yang ada hanyalah kekasihmu. Kau berpisah dan terpisah dengan dirimu sendiri- yang ada hanya dia, tok. Kenapa? Karena kau akan fokus untuk melayani yang kau cinta, kau berpisah dengan egomu. Dan akan kembali bertemu dengan ego mu setelah selesai urusanmu dan berpisah dengan yang kau cinta”. Semenjak itulah kau akan berpisah dengan cinta dan bertemu serta bergumul kembali dengan rindu.  Berbicara masalah cinta memang tak bisa dipisahkan dengan rindu. Tak ada pencinta yang tak rindu, begitupun sebaliknya. Tak ada cinta yang rapi, rindu membuatnya berantakan lagi. Seperti tulisan ini yang berantakan. Padahal diatas lagi ngomongin ramai dan sepi eh malah nulisin cinta dan rindu. Padahal masih banyak yang akan aku tuliskan. Tapi aku lagi tak punya waktu. Segalanya telah dihabisi rindu. Segalanya seketika menjadi buntu, ketika cinta mengalami rindu. Begitulah rindu, ia adalah alarm paling menyakitkan, berdering tak kenal waktu dan tak bisa dimatikan.

Minggu, 23 November 2014

Tentang Perencanaan Pembangunan Nasional serta Hambatannya

Tentang UU No.25 Tahun 2004
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 merupakan undang undang yang berisi tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Undang-undang ini adalah salah satu dari sejumlah undang-undang yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri pada awal Oktober 2004, menjelang masa jabatannya berakhir.
Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional merupakan satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah. (Pasal 1 Ayat 3).
UU No 25 Tahun 2004 ini mempunyai tujuan yang sangat luas, yaitu untuk :(a) mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan; (b) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antar-ruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah; (c) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; (d) mengoptimalkan partisipasi masyarakat dan (e) menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan. (Pasal 2)
Perencanaan pembangunan sendiri terbagi dalam tiga macam yakni menurut periode waktunya antara lain. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) adalah dokumen perencanaan untuk periode 20(dua puluh) tahun, Kemudian Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) adalah merupakan dokumen perencanaan untuk periode 5 tahun, dan yang terakhir adalah Rencana Strategis (Renstra) adalah dokumen perencanaan untuk periode setahun sekali, baik pada tingkat nasional, daerah, maupun Kementerian/Lembaga (Pasal 3 sampai dengan 7).
Lahirnya Undang-undang ini paling tidak memperlihatkan bahwa dengan adanya undang-undang ini dapat memberikan dan arah tindak dalam pelaksanaan proses perumusan perencanaan pembangunan kedepan, pasalnya sejak bangsa ini merdeka baru kali ini perencanaan pembangunan ditetapkan lewat UU, sebelumnya perencanaan pembangunan hanya ditetapkan oleh MPR dengan mengacu pada Garis Besar Haluan Negara (GBHN).[1]
Problem Dalam Perencanaan Pembangunan
Dalam proses perencanaan pembangunan baik di tingkat nasional maupun daerah terdapat problem maupun hambatan-hambatan yang membuat perencanaan pembangunan bisa berjalan tidak sesuai rencana. Mengingat dalam proses itu acapkali ditemui unsur-unsur kepentingan (interest) baik kepentingan politik maupun ekonomi daripada aktor aktor yang merumuskan proses perencanaan, yang kemudian berimplikasi pada produk perencanaan pembangunan yang tak tepat sasaran cenderung merugikan masyarakat dan dominan menguntungkan para elite. Dalam proses perumusan perencanaan pembangunan masyarakat kerap tidak diajak berpartisipasi dan tidak dilibatkan, hal ini bertentangan dengan tujuan dari sistem perencanaan pembangunan yang tercantum dalam UU No 25 Tahun 2004 pasal 2 ayat 4 butir d yang mana berbunyi “UU No 25 Tahun 2004 ini mempunyai tujuan yang sangat luas, yaitu untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat”. Dalam praktik pembangunan, masyarakat kadang masih diposisikan sebagai objek bukan subjek. Stigma yang berkembang dalam pikiran para elit masih menganggap masyarakat hanya harus dituntun, tidak diberi petunjuk dan tidak perlu dilibatkan dalam perencanaan, meski menyangkut kepentingan masyarakat itu sendiri. Ada juga anggapan orang miskin karena bodoh dan malas. Dengan demikian, cara menanganinya harus bersifat paternalistic seperti memperlakukan orang bodoh, tanpa ada upaya pemberdayaan. Paradigma tersebut sudah tidak lagi tepat. Pembangunan harus menempatkan masyarakat sebagai subyek yang diberikan ruang untuk terlibat dalam perencanaan, perumusan dan pelaksanaan dari program maupun perencanaan pembangunan.
Pendekatan itu diyakini akan lebih mampu memancing partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan yang berpengaruh langsung terhadap kehidupannya.
Perencanaan pembangunan yang disusun juga harus menjamin tercapainya pengunaan sumber daya, baik dana dan tenaga secara efektif, efisien, adil dan transparan. Aspek penting yang harus dilakukan pemerintah pusat maupun daerah adalah menekankan agar perencanaan pembangunan disusun dengan proporsional dan rasional dan partisipatif sehingga didukung oleh masyarakat dan stakeholder lainnya serta produk dari perencanaan pembangunan sendiri dapat tepat sasaran.
Fakta lain menunjukan jika upaya mewujudkan tujuan dan fungsi pokok SPPN juga menemui sejumah persoalan. Hingga saat ini, belum ada keterpaduan kegiatan antar pelaku pembangunan, baik di institusi pemerintah daerah sendiri dengan swasta atau masyarakat. Antar institusi masih dibelengu ego sektoral—dimana masing-masing SKPD atau intansi menanggap programnya yang paling perlu diprioritaskan dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan. Persoalan tersebut salah satunya tidak terlepas dari upaya masing-masing dinas untuk mendapatkan alokasi dana guna mendukung programnya dari pemerintah pusat. Hal tersebut membuat SKPD cenderung tidak efisien dalam mengelola anggaran dan buang buang anggaran, dana yang seharusnya digunakan untuk hal-hal yang relevan dengan perencanaan pembangunan kadang habis dipakai untuk hal-hal yang tidak relevan dengan perencanaan pembangunan, misalnya:dana uang rapat di hotel, dana untuk study banding dan sebagainya. Ketidakefisieanan pemda maupun SKPD dalam mengelola anggaran ini bertentangan dengan tujuan dari sistem perencanaan pembangunan yang tercantum dalam UU No 25 Tahun 2004 pasal 2 ayat 4 butir e yang mana berbunyi “menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan”.
Selain itu, kelemahan utama yang dirasakan selama ini adalah sistem perencanaan pembangunan nasional dan daerah adalah kurangnya keterpaduan, baik lintas sektoral, antar propinsi dengan nasional, antar propinsi yang berdekatan, serta antara kabupaten dan kota. Akibatnya, masing-masing program pembangunan yang ditetapkan menjadi kurang saling mendukung satu sama lainnya sehingga sinergi yang diharapkan kurang dapat mendorong proses pembangunan secara keseluruhan.
Permasalahan semakin serius dengan diterapkannya otonomi darah di mana masing-masing daerah cenderung mementingkan daerahnya masing-masing sehingga melupakan kepentingan nasional[2].
Di era otonomi daerah ini, masalah ego sektoral tersebut merupakan masalah yang serius. Sebenarnya, masing-masing daerah saling membutuhkan satu sama lainnya dalam mendorong proses pembangunan di daeranya masing-masing sehingga perencanaan pembangunan dapat berjalan terpadu. Terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi antar daerah sangat penting untuk mempercepat realisasi pembangunan di daerah. Namun, koordinasi antar kepala daerah kerapkali kurang berjalan efektif bahkan kerap dihadapi konflik kepentingan dalam penyusunan dan pelaksanaan program. Masing-masing kepala daerah, baik gubernur, bupati maupun walikota kebanyakan masih memiliki ego sektoral sehingga terjadi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Ketidaksinkronan dan tidak sinergiasnya antar para aktor pembangunan ini juga bertentangan dengan tujuan dari sistem perencanaan pembangunan yang tercantum dalam UU No 25 Tahun 2004 pasal 2 ayat 4 butir a dan b yang mana berbunyi ”mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan dan menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antar-ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah.” Dalam kondisi demikian, menurut Sjahrizal (2009) dibutuhkan pemetaan akan kebutuhan dari masing-masing wilayah sehingga pembangunan dapat dilakukan secara terpadu dan proporsional. Ada baiknya jika antar kepala daerah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Jangka Menengah sesuai masa jabatan kepala daerah. Sinkronisasi dan integrasi juga harus rencana strategis (Renstra) yang jelas dan terarah dan mewakili semua kepentingan wilayah[3].
UU No 25 Tahun 2004 dan paradigma konsep administrasi publik
Disini akan dibahas bagaimana hubungan uu no 25/2004 dengan padigma konsep administrasi publik. Seperti yang diketahui saat ini berkembang tiga konsep dalam ilmu administrasi publik antara lain: Old Public Adminstration, New Public Management dan New Public Service[4]. Dalam tiap butir isi dari uu no 25/2004 sendiri terdapat butir pasal yang isinya mengakomodir prinsip dasar yang terkandung dalam tiga konsep Administrasi Publik. Maka dari itu dibagian ini akan diperlihatkan UU No 25 tahun 2004 lebih dominan mengakomodasi prinsip dasar apakah dominan prinsip Old Public Adminsitration, New Public Management atau New Public Service.
Jika disimak pasal demi pasal, pasal 2 dari UU tersebut yang memuat tujuan dan asas penyelenggaraan perencanaan pembangunan jelas mengakomodasi prinsip New Public Service, karena berdasarkan bunyi pasal 2 ayat 1 adalah Pembangunan Nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan Nasional. Selain itu dalam pasal 2 ayat 4 butir d disebutkan bahwa UU No 25 Tahun 2004 ini mempunyai tujuan yang sangat luas, yaitu untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Kata yang di cetak tebal oleh penulis merupakan suatu prinsip dasar yang ada pada New Public Service yang mana konsep citizenship dan democratic merupakan element fundamental dalam konsep administrasi publik yang menganut paradigma new public service. Sebagaimana yang dikemukakan J. Denhardt dan R. Denhardt (2003) bahwa NPS adalah paradigma adminstrasi publik baru yang bercirikan demokrasi dengan memberi penghargaan terhadap martabat warga negara (citizen) sebagai manusia dalam pelayanan publik, negara lebih banyak menjadi pendengar daripada member petunjuk serta lebih banyak melayani daripada mengarahkan, warga negara dilibatkan penuh bahkan didorong wajib untuk berpartisipasi aktif dalam proses pemerintahan[5].
Bibliografi

[1] Statement Imam Prasojo Dosen UI. Diakses dari http://tempo.co/6-okt/2004/ini-pandangan-dosen-ui-tentang-uu-no25-th2004/ diakses pada 12 November 2014
[2] Dadang Solihin, Isu dan Masalah Perencanaan Pembangunan Daerah,
Lokakarya Penyusunan Pembangunan Daerah, 26 November 2008.
[3] Sjafrizal, Teknis Praktis Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah, Baduose Media, 2009
[4] Miftah Thoha, Ilmu Adminstrasi Publik Kontemporer, Penerbit Kencana, Jakarta, 2010.
[5] J Denhardt dan R Denhardt, New Public Service: Serving not Steering, ME Sharpe, New York, 2003

Selasa, 28 Oktober 2014

Birokrasi Red Tape ala Fisipol

Belum genap setahun menikmati euphoria sebagai maba di Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol, jurusan yang bisa dibilang sangat proaktif dalam menyuarakan reformasi birokrasi dimana-mana, baik melalui doktrinnya via dosen yang berupa proses pembelajaran dalam kelas kepada mahasiswanya maupun melalui doktrin yang berupa karya ilmiah civitasnya baik itu buku maupun riset yang berisi tentang seruan semangat reformasi  birokrasi, penulis merasa ada yang ganjal dan terjadi kontradiksi terhadap seruan reformasi birokrasi yang digalang oleh jurusan dan system birokrasi di fisipol. Perlu diketahui reformasi birokrasi (Keban:2008) pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap system organisasi publik yang menyangkut penyelenggaraan pelayanan publik.[1]
Bagaimana Sistem Birokrasi di Fisipol?
Sebelum lebih jauh mengenal bagaimana atmosfer system birokrasi di fisipol, mari sejenak kita bernostalgia dengan memahami beberapa definisi dari birokrasi. Kebanyakan dari kita birokrasi sering  di identikkan suatu system yang mana ketika berurusan dengan birokrasi kita akan dihadapkan pada peraturan-peraturan yang ketat prosedural, pelayanan yang lamban, kurang flexible dan sebagainya (anda pasti punya pandangan yang bebas mengenai birokrasi). Guna mempercepat urusan dengan birokrasi tak jarang ada yang memberi “salam tempel” pada para birokrat, atau jika kita bisa gabungkan semua tentang birokrasi seperti yang penulis deskripsikan diatas menjadi birokrasi red tape. Nah ciri-ciri diatas hampir sama dengan teori birokrasi tipe idealnya Max Webber yaitu adanya rantai komando, prosedur yang ketat, pendelegasian wewenang harus sesuai dengan hirarki jabatan yang jelas dll.[2]
Nah jurusan MKP telah merespon problema-problema yang terjadi dalam birokrasi ini dengan proaktif menggelorakan semangat Reformasi Birokrasi, begitu banyak karya ilmiah baik itu buku maupun  riset tentang Reformasi Birokrasi yang dibuat oleh para civitas MKP, salah satu buku yang dirilis JMKP yaitu Reformasi Administrasi Aparatur Negara[3] ditinjau kembali yang diterbitkan pada tahun 2011 silam. Yang meresahkan penulis adalah ketika jurusan MKP responsif dengan problema birokrasi tersebut  mereka tidak sadar bahwa di titik birokrasi terdekat yakni Front Office Fisipol atau lebih tak asing di telinga mahasiswa fisipol sebagai FO, masih memiliki problema Birokrasi Red Tape seperti yang telah disebutkan diatas.
Sebagai contoh kasus Red Tape yang terjadi di FO adalah, kita kerap kali mendapatkan pelayanan kurang baik dari staff FO kepada mahasiswa, mulai dari lambannya mereka dalam mencairkan dana UKMF, sampai pada banyaknya prosedur yang dibuat oleh pihak FO ketika mahasiswa sedang bermasalah dalam akademik,bukannya mempermudah urusan malah mereka terkesan mempersulit urusan, mereka seringkali melipat dahi dan mengerutkan muka ketika hendak melayani mahasiswa. Lebih parah lagi, kalau staff tersebut mengeluarkan jurus Ping-Pong nya, sehingga mahasiswa disuruh kesana-kemari hanya untuk menyelesaikan soal administrasi saja. Tak jarang banyak para mahasiswa yang telah berurusan dengan FO sering terpampang wajah kaku dan menggelengkan kepala ketika hendak keluar dari FO seolah menggambarkan ekspresi kekesalan karena tak puas terhadap pelayanan FO.  System birokrasi seperti di fisipol yang kaku, lamban, dan bisa dibilang buruk dalam mendelivery pelayanan publik ini terjadi di kebanyakan birokrasi di negara kita, menurut penulis birokrasi yang baik adalah birokrasi menurut Bintoro (1984) birokrasi yang diciptakan guna pekerjaan dalam pelayanan publik terorganisir dan ter delivery dengan cepat.[4] Kasus seperti di FO inilah yang tak terlihat oleh JMKP yang terkesan menyuarakan reformasi birokrasi secara lantang keluar namun bisu kedalm, dan yang semakin miris adalah  saat ini Dekan Fisipol dimimpin oleh salah satu dosen  asal JMKP  yang bergelar Doctor yang seharusnya lebih tahu bagaimana soal reformasi birokrasi. Penulis tak bisa menebak apakah JMKP dan pak Dekan  memang tidak tahu akan keadaan ini, atau tahu tapi kura-kura dalma perahu?. Coba kita tanya pada mobil mewah yang berjejer diparkiran dosen Fisipol.  


1                 Y T. Keban Prof. Dr.; Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Teori dan Isu; 2008.

[2]               Max Weber (1864) Theory Of Bereucracy.
[3]               Buku Reformasi Administrasi Aparatur Negara Ditinjau kembali merupakan buku yang dibuat oleh beberapa dosen JMKP guna merespon masalah yang terjadi dalam birokrasi di Indonesia.
[4]               Bintoro Tjokroamidjojo: Perkembangan Ilmu Administrasi Negara di Indonesia: Research di Indonesia. 1984