Sabtu, 05 April 2014

Birokrasi di Indonesia pada era Reformasi



Birokrasi di Indonesia pada era Reformasi
Menurut pakar Administrasi Negara UI Eko Prasojo: Birokrasi Indonesia sebagai sesuatu yang berat, lambat, tidak kreatif, dan tidaksensitif terhadap publik. Ini yang menjadi penyebab krisis kepercayaan publik terhadap birokrasi yang luas diIndonesia. Pembangunan ke depan harus diletakkan dengan reformasibirokrasi. Birokrasi harus ditata dalam konteks pembangunan karenabirokrasi harus bisa menjadi instrumen pembangunan yang andal.       

Birokrasi tidak berada dalam ruang vacuum, dia selalu merespons sesuailingkungan yang ada. Context of history membentuk jiwa dan karakter pegawai negeri sipil. Masih adanya mindset dari dulu, menjadi birokrat dipandang sebagaikesempatan untuk dilayani bukan untuk melayani, diberi upeti. Birokrasi malah bisa dibiayaioleh mafia ekonomi karena birokrat yang mengeluarkan izin mengelolahutan, lisensi, dan semacam itu. Ada kompensasi karena ada aturan yangmau ditabrak. Meskipun ada prosedur yang tidak dipenuhi, mereka bisajalan terus karena sanggup membayar mahal kepada birokrasi.
Birokrasi saat ini selalu dalam posisi yang kuat. Itu menyambung terus dari zamanpenjajahan. Di era reformasi, ditambah lagi dengan bercampurnyakekuatan politik yang menjadikan birokrasi tetap dilayani masyarakat.
Dalam birokrasi itu, sudah menahun dan kritis. Biropatologi (bureaupathology)yang sering kita lihat. Seperti kleptokrasi, orang mencuri harta rakyat dengan mengatasnamakan birokrasi. Seperti kleptomania, namun merekadilindungi dengan asas legal formal, ada legitimasinya. Selain itu
Distribusi pegawai tidak seimbang, perekrutan CPNS semakin membebani APBN/APBD . Hal itu terjadi karena tidak ada standar jobanalysis sehingga kita bingung mau merekrut siapa. Peta jabatan bisa ribuan karena antardaerah pun tidak comparable. Sekarang, tanpa standar, perekrutan dilakukan serampangan, pola hubungan kekeluargaandan nepotisme lebih menonjol.
Soal kuantitas, rasionya mungkinharus diperjelas. Jumlah pegawai 3,6 juta relatif memadai karena rasio pegawai dengan penduduk yang optimal 50-100. Masalahnya di sini adalah penyebaran, alokasi. Ada departemen yang kelebihan, ada yang kekurangan. Ada daerah yang kelebihan, daerah lain padahal kekurangan.Masalahnya mereka tidak transferable karena pegawai yang ada tidak comparable antara pusat dan daerah, antara daerah satu dan daerah lain.Bukan hanya karena tidak ada standar kompetensi, egoisme daerah juga menjadi masalah. Meskipun eselonnya belum sampai, bisa dikatrol,dipaksakan hanya karena dia putra daerah. Padahal, di daerah lain adabanyak orang dengan eselon yang sama tidak mendapat posisi. Ini kesalahan masa lalu, tetapi imbasnya sampai sekarang.

Penyakit birokrasi seperti ini bukan tidak ada obatnya baru-baru ini digelorakan semangat reformasi birokrasi kita agar para birokrat kembali pada statusnya sebagai pelayan publik. Memulai reformasi bisa dilakukan dari daerah, sesuai otonomi. Reformas ibirokrasi tidak akan terjadi kalau daerah tidak bergerak. Selama inidaerah tidak paham, mungkin punya maksud dan komitmen yang bagus, namun belum ditindaklanjuti. Sejauh ini kita berharap pada succes story,keberhasilan suatu daerah direplikasi di daerah lain. Masalahnya,selama masa reformasi, timbul rezim yang berbeda-beda di daerah.Perkembangan sangat bergantung pimpinan, bergantung komitmen politik pimpinan. Perlu4C: commitment, concept, competency, dan clean.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar