Birokrasi di Indonesia
pada era Reformasi
Menurut
pakar Administrasi Negara UI Eko Prasojo: Birokrasi Indonesia sebagai sesuatu
yang berat, lambat, tidak kreatif, dan tidaksensitif terhadap publik. Ini yang
menjadi penyebab krisis kepercayaan publik terhadap birokrasi yang luas
diIndonesia. Pembangunan ke depan harus diletakkan dengan reformasibirokrasi.
Birokrasi harus ditata dalam konteks pembangunan karenabirokrasi harus bisa
menjadi instrumen pembangunan yang andal.
Birokrasi
tidak berada dalam ruang vacuum, dia selalu merespons sesuailingkungan yang
ada. Context of history membentuk jiwa dan karakter pegawai negeri sipil. Masih
adanya mindset dari dulu, menjadi birokrat dipandang sebagaikesempatan untuk
dilayani bukan untuk melayani, diberi upeti. Birokrasi malah bisa dibiayaioleh
mafia ekonomi karena birokrat yang mengeluarkan izin mengelolahutan, lisensi,
dan semacam itu. Ada kompensasi karena ada aturan yangmau ditabrak. Meskipun
ada prosedur yang tidak dipenuhi, mereka bisajalan terus karena sanggup
membayar mahal kepada birokrasi.
Birokrasi
saat ini selalu dalam posisi yang kuat. Itu menyambung terus dari
zamanpenjajahan. Di era reformasi, ditambah lagi dengan bercampurnyakekuatan
politik yang menjadikan birokrasi tetap dilayani masyarakat.
Dalam birokrasi itu, sudah menahun dan kritis. Biropatologi (bureaupathology)yang sering kita lihat. Seperti kleptokrasi, orang mencuri harta rakyat dengan mengatasnamakan birokrasi. Seperti kleptomania, namun merekadilindungi dengan asas legal formal, ada legitimasinya. Selain itu
Distribusi pegawai tidak seimbang, perekrutan CPNS semakin membebani APBN/APBD . Hal itu terjadi karena tidak ada standar jobanalysis sehingga kita bingung mau merekrut siapa. Peta jabatan bisa ribuan karena antardaerah pun tidak comparable. Sekarang, tanpa standar, perekrutan dilakukan serampangan, pola hubungan kekeluargaandan nepotisme lebih menonjol.
Soal kuantitas, rasionya mungkinharus diperjelas. Jumlah pegawai 3,6 juta relatif memadai karena rasio pegawai dengan penduduk yang optimal 50-100. Masalahnya di sini adalah penyebaran, alokasi. Ada departemen yang kelebihan, ada yang kekurangan. Ada daerah yang kelebihan, daerah lain padahal kekurangan.Masalahnya mereka tidak transferable karena pegawai yang ada tidak comparable antara pusat dan daerah, antara daerah satu dan daerah lain.Bukan hanya karena tidak ada standar kompetensi, egoisme daerah juga menjadi masalah. Meskipun eselonnya belum sampai, bisa dikatrol,dipaksakan hanya karena dia putra daerah. Padahal, di daerah lain adabanyak orang dengan eselon yang sama tidak mendapat posisi. Ini kesalahan masa lalu, tetapi imbasnya sampai sekarang.
Dalam birokrasi itu, sudah menahun dan kritis. Biropatologi (bureaupathology)yang sering kita lihat. Seperti kleptokrasi, orang mencuri harta rakyat dengan mengatasnamakan birokrasi. Seperti kleptomania, namun merekadilindungi dengan asas legal formal, ada legitimasinya. Selain itu
Distribusi pegawai tidak seimbang, perekrutan CPNS semakin membebani APBN/APBD . Hal itu terjadi karena tidak ada standar jobanalysis sehingga kita bingung mau merekrut siapa. Peta jabatan bisa ribuan karena antardaerah pun tidak comparable. Sekarang, tanpa standar, perekrutan dilakukan serampangan, pola hubungan kekeluargaandan nepotisme lebih menonjol.
Soal kuantitas, rasionya mungkinharus diperjelas. Jumlah pegawai 3,6 juta relatif memadai karena rasio pegawai dengan penduduk yang optimal 50-100. Masalahnya di sini adalah penyebaran, alokasi. Ada departemen yang kelebihan, ada yang kekurangan. Ada daerah yang kelebihan, daerah lain padahal kekurangan.Masalahnya mereka tidak transferable karena pegawai yang ada tidak comparable antara pusat dan daerah, antara daerah satu dan daerah lain.Bukan hanya karena tidak ada standar kompetensi, egoisme daerah juga menjadi masalah. Meskipun eselonnya belum sampai, bisa dikatrol,dipaksakan hanya karena dia putra daerah. Padahal, di daerah lain adabanyak orang dengan eselon yang sama tidak mendapat posisi. Ini kesalahan masa lalu, tetapi imbasnya sampai sekarang.
Penyakit birokrasi seperti ini bukan tidak ada obatnya baru-baru
ini digelorakan semangat reformasi birokrasi kita agar para birokrat kembali
pada statusnya sebagai pelayan publik. Memulai reformasi bisa dilakukan dari
daerah, sesuai otonomi. Reformas ibirokrasi tidak akan terjadi kalau daerah
tidak bergerak. Selama inidaerah tidak paham, mungkin punya maksud dan komitmen
yang bagus, namun belum ditindaklanjuti. Sejauh ini kita berharap pada succes
story,keberhasilan suatu daerah direplikasi di daerah lain. Masalahnya,selama
masa reformasi, timbul rezim yang berbeda-beda di daerah.Perkembangan sangat
bergantung pimpinan, bergantung komitmen politik pimpinan. Perlu4C: commitment,
concept, competency, dan clean.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar